🖼️ La Maujuda Illallah Artinya

KekuatanMakna La ilaha illallah dari Tinjauan Gaya Bahasa. Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma'bûda bihaqqin illallâh (tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah), bukan Lâ ma'bûda illallâh, (tiada tuhan yang disembah selain Allah). Andai makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma'bûda illallâh, (tiada tuhan yang IJAZAHDZIKRUL JALALAH DARI HABIB ABUBAKAR BIN MUHAMMAD ASSEGAF GRESIK Bersabda Nabi Muhammad SAW: "Paling afdhol (utamanya) zikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAH dan paling afdholnya doa adalah ALHAMDULILLAH." "Paling utamanya ucapan yang. Rahasia Makrifat - TVTarekat. Keliru Mengatakan; La Maujuda Illallah - YouTube. Darihadits Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Islam itu dibangun di atas lima (tiang ataupun rukun): syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah ta'ala) dan Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan Puasa Ramadhan." Andaimakna Laa Ilaaha illallah adalah Laa ma'buda illallah, (tiada tuhan yang disembah selain Allah), niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yang disembah. LASAUTUN WALA HARFUN, artinya tidak ada huruf dan tiada suara, inilah kalam Allah yang Qadim, tidak bercerai dan terpisah sifat dengan Zat. Tarku Mayiwallah (meninggalkan selain Allah) Zat Allah saja yang ada. La Maujuda Illallah (tidak ada yang ada hanya Allah). Kategori Istilah Bahasa Arab. Makna Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] yang benar adalah [ لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ ] ) ( Laa ma'buuda bi haqqin illallah ), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, MaknaLaa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله] yang benar adalah [لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ] ) ( Laa ma'buuda bi haqqin illallah), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah s aja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, bintang, kuburan, berhala, dan sesembahan lainnya dalah sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak pula bisa menolak bahaya. Artinya "Benar, laa ilaaha illallah adalah kunci surga. Namun bukankah setiap kunci harus punya gigi. Jika kamu membawa kunci yang ada giginya, dibukakan surga untukmu, jika tidak ada giginya, tidak dibukakan surga untukmu." (HR. Bukhari secara Muallaq sebelum hadis no. 1237 dan disebutkan Abu Nuaim secara Maushul dalam al-Hilyah 4/66). . Oleh Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam Pasal 2 Akidah yang Menjadi Ajaran NII, dalam Tinjauan… Berikut ini akan kita ketahui aqidah yang menjadi ajaran NII. Kita mulai dari aqidah yang ditanamkan SM Kartosoewirjo di dalam mengader siswanya di Institut Suffah. Diuraikannya kalimat Laa Ilaha illallah sebagai berikut 1. La maujuda illallah Artinya Tidak ada yang maujud kecuali atas ijin dan takdir Allah. Pengertian singkatnya adalah bahwa setiap kejadian, baik yang disengaja oleh manusia ataupun tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia ataupun tidak, yang bersifat biasa ataupun luar biasa, yang manis dan yang pahit, yang baik maupun yang buruk, itu semua adalah atas kudrat dan iradat Allah, atas kuasa dan kehendak Allah. Posisi makhluk termasuk manusia, tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh di dalan mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiar dan akal manusia, bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa izin dan kuasa Allah. Ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu, manusia harus menyadari akan kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati. Segala hidup dan kehidupan, bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak memiliki daya dan kuasa sedikit pun, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah. Inilah yang dikatakan wahdatul maujud. 2. Laa Ma’buuda illallah Artinya Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Setelah meyakini wahdatul maujud, artinya segala sesuatu yang maujud selain Allah, itu semua tergantung kudrat dan iradat Allah, selanjutnya kita harus meyakini bahwa semua yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia, tetapi semuanya itu untuk menjadi sarana dan medan pengabdian manusia kepada-Nya jua. Seorang Mukmin harus bertekad bahwa segala takdir yang terjadi pada dirinya, di mana saja, kapan saja dan bagaimanapun keadaannya, hanya akan dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah saja. Sebab kalau kosong dari nilai ibadah kepada Allah, dia akan terjebak kepada syirik atau maksiat kepada Allah. Hal ini biasa disebut wahdatul ma’bud atau tauhidul ibadah. 3. Laa Mathluba illallah. Artinya Tidak ada yang dicari untuk ditaati dan dicari untuk dihindari, kecuali perintah dan larangan Allah saja. Setelah meyakini bahwa segala takdir yang datang kepada kita adalah untuk sarana ibadah kepada Allah, maka kita harus yakin bahwa segala takdir itu mengandung perintah dan larangan dari Allah yang terperinci. Kita harus berusaha mewarnai kehidupan kita sehari-hari dengan warna Islam saja, jangan sampai sesaat pun diri kita lepas dari nilai Islam, yang telah kita yakini sebagai satu-satunya Dienullah, sistem hidup yang telah digariskan Allah, yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunia dan akhirat. Inilah wahdatul mathlub, artinya kebulatan gerak dan langkah sepanjang aturan-aturan Allah saja. 4. Laa maqsuuda illallah. Artinya tidak ada yang dituju dimaksud kecuali keridhaan Allah. Setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki yaitu keridhaan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur ambisi dan tujuan-tujuan duniawi lainnya, yang dapat menghapuskan nilai amal kita. Jadi, kita melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, merealisasikan sistem Islam dan menjauhi sistem thaghut, itu tujuannya semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah; bukan yang lainnya. Inilah wahdatul maqshud satu tujuan hanya untuk Al lah.[12] Tafsir Laa ilaha illallah oleh SM Kartosoewirjo yang disadur oleh. A. Firdaus, sebagai generasi kedua NII yang masuk NII dari 1962-1980, disadur lagi oleh majalah An-Naba’ [13] edisi 17/Th. II 1994. Tafsir itu pula yang dijadikan materi pokok tentang tauhidullah aqidah di lingkungan usrah yang telah pula berkembang cukup luas di Indonesia. Tafsir tersebut di atas juga terdapat di dalam tulisan/manuskrip sebagai penjelasan atas komando Imam tanggal 24 April 1962. [14] Manuskrip tersebut ditulis oleh tokoh NII generasi awal Angkatan I/menjadi orang NII antara tahun 1949-1962. Apabila kita amati dengan teliti, yang menjadi dasar tafsir SM Kartosoewirjo atas kandungan Laa ilaha illallah adalah terdapat di dalam butir pertama yakni tiada maujud kecuali Allah wahdatul maujud. Butir pertama ini selanjutnya diikuti oleh butir tafsir kedua, ketiga dan keempat, seperti tersebut di atas. Ketiga butir tafsir itu butir 2,3 dan 4 merupakan konsekuensi butir pertama. Apabila pembaca amati sekali lagi mengenai penjelasan wahdatul maujud, maka kita akan mendapati bahwa pemahaman, keyakinan atau ajaran tersebut telah sejak lama ada yang dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan [15] dan terkenal dengan nama Jabriyah Jabariyyah. [16] Inti ajaran Jabariyah adalah serba taqdir. Ajaran ini sangat bersebrangan dengan ajaran Qadariyah yang menolak takdir. Kedua ajaran ini termasuk bid’ah [17] dan hal itu tentu saja bathil. Orang-orang Jabariyyah beranggapan bahwa pengaturan terhadap seluruh perbuatan makhluk hanyalah menjadi hak Allah. Semua perbuatan makhluk merupakan perbuatan yang bersifat paksaan, seperti gerakan-gerakan getar,… Kalau perbuatan disandarkan kepada makhluk, itu hanyalah kiasan belaka. [18] Bagi Jabariyyah, manusia seorang hamba tidak mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai pilihan apapun terhadap semua yang diperbuatnya, ia bagaikan bulu ditiup angin. Di dalam bahasa SM Kartosoewirjo, posisi manusia tidak memiliki peran sama sekali yang berpengaruh di dalam mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiyar dan akal manusia, bagaimanpun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa ijin dan kuasa Allah. Madzhab Salaf Ahli Sunnah wat Jama’ah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Fauzan dan Team Tauhid tentang Qadha dan Qadar sebagai berikut “Sesungguhnya Allah adalah pencipta segala sesuatu, Pengatur dan Pemiliknya. Tiada sesuatu pun yang keluar dari hal itu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada di alam semesta ini sesuatu yang terjadi melainkan dengan masyi’ah kehendak dan qudrat kekuasaan Nya. Tidak sesuatupun yang menghalangi Nya apabila Ia menghendaki sesuatu. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu yang telah lewat, yang akan terjadi dan yang tidak ada bagaimana seandainya ia ada. Dia telah menulis segala yang ada sebelum terciptanya; perbuatan para hamba, rezki, ajal dan bahagia atau celaka dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” Al-An’am17. “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” At-Taubah; 51. “Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan dengan Dia.” Al-Qashash 68. “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Al-Hadid 22 Adapun segala perbuatan, sifat dan kejadian yang berada di luar keinginan dan ikhtiar manusia, maka hal itu bukan medan taklif dari Allah dan tidak dinisbatkan kepada manusia. Tetapi ada perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan manusia dan berada dalam kemampuan manusia, yang kalau ia kerjakan berdasarkan kekuatan dan ikhtiar yang sudah dianugerahkan Allah kepadanya, maka tampaklah hikmah Allah dalam pembalasan. Seperti firman Allah “Supaya Dia menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” Al-Mulk2 dan Hud; 7 Setiap orang pasti merasa bahwa ia mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu atau meninggalkannya. Jadi perbuatan-perbuatan itu benar-benar perbuatannya sendiri sesuai dengan kehendak dan keinginan bukan majazi, tapi hakiki, –Pen. Allah berfirman, “Dan katakanlah, Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” Al-Kahfi29. “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” Ath-Thur21. “Yaitu bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” At-Takwir 28 [19] Dengan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa madzhab Salaf Ahli Sunnah wal Jama’ ah adalah pertengahan antara Qadariyah dan Jabariyah di dalam masalah yang kita bicarakan ini takdir. Jika Qadariyah menetapkan perbuatan manusia tergantung manusia, tanpa ada ikatan dan kaitan dengan Allah. Sedangkan Jabariyah menetapkan segalanya tergantung kepada takdir Allah, sehingga manusia sama sekali tidak dapat berbuat, dan perbuatan manusia bagaikan bulu yang ditiup angin, sebagai saluran belaka, tidak ada upaya sama sekali, tidak berbuat dengan makna hakiki. Maka, keduanya Qadariyah dan Jabariyah merupakan firqah bathil. Lebih luas lagi, tafsir SM Kartosoewirjo terhadap Kalimat tauhid Laa ilah illallah seperti disebutkan di atas 4 butir, ternyata juga bermuatan aliran tarekat sufi tertentu. Sebab hanya orang-orang sufi sajalah yang menyatakan kalimat wihdatul wujud. Aliran Wihdatul Wujud menyatakan bahwa tingkat tertinggi dari keimanan apabila seseorang telah bersatu dengan Allah dan terlepas dari kewajiban menjalankan syariat Allah [20] sehingga tidak ada yang maujud kecuali Allah. Namun demikian, SM Kartosoewirjo tidaklah sepenuhnya menelan aliran sufi yang ekstrim, sebab terbukti masih mempertahankan syariat lihat butir ke-3/Laamathluba illallah. Walau begitu, pengertian Laa mathluba illallah, bukanlah termasuk dari Laa ilaha illallah akan tetapi masuk ke dalam bagian makna rububiyyah tauhid rububiyyah. Sedangkan Laa maqshuda ilallah, bukan pula masuk ke dalam makna Laa ilah illallah akan tetapi merupakan syarat dan tujuan tauhid ibadah itu sendiri. Oleh karena itu, makna yang benar dari Laa ilaha illallah, adalah Laa ma’buda bihaqqin ilallah, artinya tidak ada ilah yang diibadahi dengan hak melainkan Allah saja. Pembahasan lebih lanjut mengenai Tauhidullah ini, akan dipaparkan saat kita meninjau sistematika tauhid antara ajaran NII dengan madzhab Salaf. Oleh karena tidak mengikuti manhaj yang hak di dalam mengaji bidang aqidah, yakni akidah itu tauqifiyyah, [21] akan tetapi mengikuti manhaj para filosof, kaum sufi dan mutakallimin/ahli kalam yang menentang Ahlus Sunnah, maka semakin kacaulah di dalam menafsirkan Laa ilaha illallah, seperti yang dimuat dalam manuskrip catatan jihad, buah pena salah seorang generasi jibal gunung yakni dalam bahasa orang NII sebagai “orang tua” atau generasi sabiqunal awwalun.lihat catatan kaki hal. 57. Tafsir yang kacau tersebut adalah sebagai berikut –Selamat pelaksanaan tugasnya terutama sekali dalam bidang 1. Memegang teguh dan menguatkan Kalimat tauhid Kalimat Thayyibah, dengan empat kerangka La; dalam makna La Mathluba illa-Ilah, dalam makna a. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Rahmat ridha Allah. b. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah. c. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Agama/kerajaanAllah. La maqshuda illa-llah, dalam makna a. Tiada titik tujuan, kecuali Rahmat-Ridha Allah. b. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya pemimpin pembawa amanat Allah. c. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya Agama/Kerajaan Allah. La ma’buda illllah, dalam makna a. Tiada yang disembah, kecuali Allah. b. Tiada yang ditaati dan disetiai, kecuali pemimpin dan pembawa amanat Allah. c. Tiada yang dijunjung tinggi, kecuali Agama/kerajaan Allah. La Maujuda ill-Ilah, dalam makna a. Tiada yang wujud muthlak, kecuali Allah. b. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah. c. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali Agama/Kerajaan Allah. [22] Sekali lagi, bagaimana pemahaman yang benar atas La ilaha illallah yang dipahami oleh Salafus Shalih Ahli Sunnah wal Jama’ah, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dapat dilihat di dalam pembahasan sistematika penggolongan tauhidullah. Semoga waspadalah orang-orang yang mau waspada, dan akan tergelincirlah orang-orang yang lalai. dan semoga kita termasuk orang-orang yang meniti jalan Salafus Shalih. Yakni jalannya para Nabi dan sahabatnya. Mereka para shahabat adalah orang-orang terbaik yang diberi predikat oleh Allah Ridwanullah Alaihim Ajma’in atas keimanan dan ketakwaan mereka. Merekalah yang mencukupkan diri dengan apa yang difirmankan Allah Azza wa Jalla dan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di dalam ber-dien ini beraqidah, beribadah; berakhlak, bersyari’ah dan bermu’amalah. Merekalah orang-orang yang mengingkari filsafat dan hukum mutakallimin yang menggunakan standar akalnya untuk menimbang firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Apabila akalnya membenarkan dua wahyu Allah, maka mereka menetapkannya sebagai keyakinan. Sebaliknya, apabila akal mereka tidak memberikan rekomendasi terhadap dua wahyu Allah, maka mereka menolaknya dengan congkak dan sombong. Menarik apa yang dikatakan Ibnu Khaldun tentang bagaimana menempatkan akal di dalam dien kita ini, “Akal adalah mizan yang benar, maka keputusannya benar tak mengandung kedustaan. Tapi Janganlah kau gunakan ia untuk menimbang masalah tauhid, masalah akhirat, hakikat nubuwah, hakikat sifat-sifat Ilahiyah dan apa yang ada di balik itu, karena hal itu mustahil. Orang yang menggunakan akalnya untuk perkaraperkara seperti ini adalah seperti orang yang melihat timbangan untuk menimbang emas, lalu dengan penuh ketamakan ia menggunakannya untuk menimbang gunung. Ini tidak menunjukkan bahwa timbangannya tidak betul, tetapi akal yang tidak mampu. Dia tidak dapat menjangkau Allah dan sifat-sifat-Nya karena ia akal, Pen sebuah dzarrah atom dari atom-atom alam ciptaan Allah.” [23] ~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan Aqidah “. Penulis Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam. Penerbit Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~ Sumber Artikel Footnote [12] A. Firdaus, Op Cit. hlm. 29-31. [13] Majalah ini merupakan karya Usroh Jakarta sebagai bagian dari NII. Periksalah majalah tersebut pada edisi 17/Thn II-1994, hlm. 37-39. [14] Catatan jihad manuskrip, Penulisnya, menurut berita yang beredar adalah Abu Suja’ yang kemudian dieksekusi Adah Jaelani Tirtapraja atas fatwa Ajengan Masduki. Ia dibunuh karena tulisannya berbeda dengan yang ditafsirkan oleh penguasa yang sedang eksis Adah Jaelani sebagai Imam. [15] Abdurrahman bin shalih Al-Mahmudi. Al-Qadla wa Qadar fi Dhui Al-Kitab wa AsSunnah, Riyadh, Dar An-Nasyr Ad-Dauli 1414. hlm. 142. [16] Jabariyyah adalah suatu ajaran atau keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan perbuatan manusia baik buruknya, manusia tidak punya upaya apa-apa. Ajaran ini diyakini oleh firqah Jahmiyah yakni para pengikut Jahm bin Shafyan Abi Mahras As-Samarkandi At-Turmudzi yang dihukum bunuh pada tahun 128 H. Jahm bin Shafwan belajar kepada Ja’d bin Dirham. Ja’d belajar kepada Thalut. Thalut belajar kepada Labib bin Al- Asham, seorangYahudi, maka jadilah mereka semua murid-murid Yahudi. Karena itu, perhatikanlah dari siapa seseorang itu mengambil ilmu? Sedangkan Qadariyah adalah firqah yang berpandangan sebaliknya yang muncul pada akhir masa shahabat. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan qadar apa-apa. Orang pertama yang membawa paham ini ialah Ma’had Al-Juhani. disebut pula Ghayalan Ad-Dimasyq. Dan ada pula yang mengatakan bahwa pembangun firqah ini adalah Susan An-Nasrani. [17] Ibnul Qayyim, Syifa Al-’Alil, Dar el Fikr. 1409, Bab 13, [18] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dan Syu’aib Al-Arnauth, Syarah Aqidah AtThahawiyyah, hlm. 639. [19] Tim Tauhid At-Tauhid Lish-Shaffits Al-’Ali,. terjemahan Agus Hasan Bashari. Jakarta, Darul Haq, 1419, hlm. 169-171. [20] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit, Butir Pembagian Tauhid. [21] Tauqifiyyah maknanya hanya ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, lihat Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki Dasar-dasar aqidah Imam Salaf; Shalih bin Fauzan At-Tauhid I; Abdullah Azzam Aqidah landasan Pokok Membina Umat dan seluruh kitab-kitab tauhdid buah pena para ulama pewaris Nabi Ulama ahlus sunnah wal Jama’ah lainnya. [22] Catatan Jihad, Op Cit. hlm. 4-5. [23] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit. Bagian Kaidah Pengajian Masalah Aqidah, butir Membatasi Akal Memikirkan Perkara yang Bukan Bidangnya… ___________ Dengan berlindung kepada Allah Swt, Pencetusan Api Ma’rifattullah dalam kalimah “ALLAH” Syah dan, nama Allah itu tidak akan pernah dapat dihilangkan, sebab nama Allah itu akan menjadikan Zikir bagi para Malaikat, Zikir para burung, Zikir para binatang melata, Zikir tumbuh-tumbuhan dan Zikir dari Nasar yang 4 tanah, air, angin dan api serta zikir segala makhluk yang ada pada 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, juga zikir makhluk yang berdiam diantara langit dan bumi. buka…..Al-Qur’an, Surah At-thalaq, ayat 1. Adapun zikir para makhluk Allah yang kami sebutkan tadi tidaklah sama logatnya, dan tidak sama pula bunyi dan bacaannya. Tidak sedikit para akhli Sufi dan para wali-wali Allah yang telah mendengar akan bunyi zikir para makhluk itu, sungguh sangat beraneka ragam bunyinya. Dalam Kitab Taurat, nama Zat yang maha Esa itu ada 300 banyaknya yang ditulis menurut bahasa Taurat, dalam Kitab Zabur juga ada 300 banyaknya nama Zat yang maha esa itu yang ditulis dengan bahasa Zabur. Dalam Kitab Injil juga ada 300 banyaknya nama Zat yang Esa itu yang ditulis dengan bahasa Injil, dan dalam Kitab Al-Qur’an juga ada 99 nama Zat yang esa itu ditulis dalam bahasa Arab. Jika kita berhitung maka dari keempat kitab itu yang ditulis berdasarkan versinya, maka akan ada 999 nama bagi zat yang maha esa itu, dari jumlah tersebut maka yang 998 nama itu, adalah nama dari Sifat Zat yang maha Esa, sedangkan nama dari pada Zat yang maha esa itu hanya satu saja, yaitu “ ALLAH ”. [6/3, 655 PM] UW-kusumo Diterangkan didalam Kitab Fathurrahman, berbahasa Arab, yaitu pada halaman 523. disebutkan bahwa nama Allah itu tertulis didalam Al-Qur’an sebanyak tempat. Apa kiranya hikmah yang dapat kita ambil mengapa begitu banyak nama Allah, Zat yang maha Esa itu bagi kita…? Allah, Zat yang maha esa, berpesan “ Wahai Hambaku janganlah kamu sekalian lupa kepada namaku “ Maksudnya Allah itu namaku dan Zatku, dan tidak akan pernah bercerai, Namaku dan Zatku itu satu. Allah Swt juga telah menurunkan 100 kitab kepada para nabi-nabinya, kemudian ditambah 4 kitab lagi sehingga jumlah keseluruhan kitab yang telah diturunkan-Nya berjumlah 104 buah kitab, dan yang 103 buah kitab itu rahasianya terhimpun didalam Al-Qur’annul karim, dan rahasia Al-Qur’annul karim itu pun rahasianya terletak pada kalimah “ALLAH”. Begitu pula dengan kalimah La Ilaha Ilallah, jika ditulis dalam bahasa arab ada 12 huruf, dan jika digugurkan 8 huruf pada awal kalimah La Ilaha Ilallah, maka akan tertinggal 4 huruf saja, yaitu Allah. Ma’na kalimah ALLAH itu adalah sebuah nama saja, sekalipun digugurkan satu persatu nilainya tidak akan pernah berkurang, bahkan akan mengandung ma’na dan arti yang mendalam, dan mengandung rahasia penting bagi kehidupan kita selaku umat manusia yang telah diciptakan oleh Allah Swt dalam bentuk yang paling sempurna. ALLAH jika diarabkan maka Ia akan berhuruf dasar Alif, Lam diawal, Lam diakhir dan kata ingin kita melihat kesempurnaannya maka gugurkanlah satu persatu atau huruf demi hurufnya. • Gugurkan huruf pertamanya, yaitu huruf Alif ا , maka akan tersisa 3 huruf saja dan bunyinya tidak Allah lagi tetapi akan berbunyi Lillah, artinya bagi Allah, dari Allah, kepada Allahlah kembalinya segala makhluk. • Gugurkan huruf keduanya, yaitu huruf Lam awal ل , maka akan tersisa 2 huruf saja dan bunyinya tidak lillah lagi tetapi akan berbunyi Lahu. Lahu Mafissamawati wal Ardi, artinya Bagi Allah segala apa saja yang ada pada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. • Gugurkan huruf ketiganya, yaitu huruf Lam akhir ل, maka akan tersisa 1 huruf saja dan bunyinya tidak lahu lagi tetapi Hu, Huwal haiyul qayum, artinya Zat Allah yang hidup dan berdiri sendirinya. Kalimah HU ringkasnya dari kalimah Huwa, sebenarnya setiap kalimah Huwa, artinya Zat, misalnya Qul Huwallahu Ahad., artinya Zat yang bersifat kesempurnaan yang dinamai Allah. Yang dimaksud kalimah HU itu menjadi berbunyi AH, artinya Zat. Bagi sufi, napas kita yang keluar masuk semasa kita masih hidup ini berisi amal bathin, yaitu HU, kembali napas turun di isi dengan kalimah ALLAH, kebawah tiada berbatas dan keatas tiada terhingga. Perhatikan beberapa pengguguran – pengguguran dibawah ini Ketahui pula olehmu, jika pada kalimah ALLAH itu kita gugurkan Lam ل pertama dan Lam ل keduanya, maka tinggallah dua huruf yang awal dan huruf yang akhir dipangkal dan diakhir, yaitu huruf Alif dan huruf Ha dibaca AH. Kalimah ini AH tidak dibaca lagi dengan nafas yang keluar masuk dan tidak dibaca lagi dengan nafas keatas atau kebawah tetapi hanya dibaca dengan titik. Kalimah AH, jika dituliskan dengan huruf Arab, terdiri 2 huruf, artinya dalam bahasa disebutkan INTAHA Kesudahan dan keakhiran, seandai saja kita berjalan mencari Allah tentu akan ada permulaannya dan tentunya juga akan ada kesudahannya, akan tetapi kalau sudah sampai lafald Zikir AH, maka sampailah perjalanan itu ketujuan yang dimaksudkan. Silahkan bertanya kepada akhlinya Selanjutnya gugurkan Huruf Awalnya, yaitu huruf ALIF dan gugurkan huruf akhirnya, yaitu huruf HA, maka akan tersisa 2 buah huruf ditengahnya yaitu huruf LAM pertama Lam Alif dan huruf LAM kedua La Nafiah. Qaidah para sufi menyatakan tujuannya adalah Jika berkata LA Tidak ada Tuhan, ILLA Ada Tuhan, Nafi mengandung Isbat, Isbat mengandung Nafi tiada bercerai atau terpisah Nafi dan Isbat itu. Selanjutnya gugurkan huruf LAM kedua dan huruf HU, maka yang tertinggal juga dua huruf, yaitu huruf Alif dan huruf Lam yang pertama, kedua huruf yang tertinggal itu dinamai Alif Lam La’tif dan kedua huruf itu menunjukkan Zat Allah, maksudnya Ma’rifat yang sema’rifatnya dalam artian yang mendalam, bahwa kalimah Allah bukan NAKIRAH, kalimah Allah adalah Ma’rifat, yakni Isyarat dari huruf Alif dan Lam yang pertama pada awal kalimah ALLAH. Gugurkan tiga huruf sekaligus, yaitu huruf LAM pertama, LAM kedua, dan HU maka tinggallah huruf yang paling tunggal dari segala yang tunggal, yaitu huruf Alif Alif tunggal yang berdiri sendirinya. Berilah tanda pada huruf Alif yang tunggal itu dengan tanda Atas, Bawah dan depan, maka akan berbunyi dan setiap berbunyi A maka dipahamhan Ada Zat Allah, begitu pula dengan bunyi I dan U, dipahamkan Ada Zat Allah dan jika semua bunyi itu dipahamkan Ada Zat Allah, berarti segala bunyi/suara didalam alam, baik itu yang terbit atau datangnya dari alam Nasar yang empat Tanah, Air, Angin dan Api maupun yang datangnya dan keluar dari mulut makhluk Ada Zat Allah. Penegasannya bunyi atau suara yang datang dan terbit dari apa saja kesemuanya itu berbunyi ALLAH, nama dari Zat yang maha Esa sedangkan huruf Alif itulah dasar asal dari huruf Arab yang banyaknya ada 28 huruf. Dengan demikian maka jika kita melihat huruf Alif maka seakan-akan kita telah melihat 28 huruf yang ada. Lihat dan perhatikan sebuah biji pada tumbuh-tumbuhan, dari biji itulah asal usul segala urat, batang, daun, ranting, dahan dan buahnya. Syuhudul Wahdah Fil Kasrah, Syuhudul Kasrah Fil Wahdah. Pandang yang satu kepada yang banyak dan pandang yang banyak kepada yang satu maka yang ada hanya satu saja yaitu satu Zat dan dari Zat itulah datangnya Alam beserta isinya. Al-Qur’an yang jumlah ayatnya 6666 ayat akan terhimpun kedalam Suratul Fatekha, dan Suratul Fatekha itu akan terhimpun pada Basmallah, dan Basmallah itupun akan terhimpun pada huruf BA, dan huruf BA akan terhimpun pada titiknya Nuktah. Jika kita tilik dengan jeli maka titik itulah yang akan menjadi segala huruf, terlihat banyak padahal ia satu dan terlihat satu padahal ia banyak. Selanjutnya Huruf-huruf lafald Allah yang telah digugurkan maka tinggallah empat huruf yang ada diatas lafald Allah tadi, yaitu huruf TASYDID bergigi tiga, terdiri dari tiga huruf Alif diatas Tasydid adalagi satu huruf Alif. Keempat huruf Tasydid itu adalah isyarat bahwa Tuhan itu Ada, maka wajib bagi kita untuk mentauhidkan Asma Allah, Af’al Allah, Sifat Allah dan Zat Allah. Langkah terakhir gugurkan keseluruhannya, maka yang akan tinggal adalah kosong. LA SAUTUN WALA HARFUN, artinya tidak ada huruf dan tiada suara, inilah kalam Allah yang Qadim, tidak bercerai dan terpisah sifat dengan Zat. Tarku Mayiwallah meninggalkan selain Allah Zat Allah saja yang ada. La Maujuda Illallah tidak ada yang ada hanya Allah.

la maujuda illallah artinya